Oleh : Alni Desra2,3, Amadea Sylva Lienaningrum2,3, Hanifah Nurrahmawati1,3, Ida Nur Aini1,3, Muflihah Auliya’a1,3, Qois Najib1,3

1 Program Studi S1 Farmasi 2017, Universitas Gadjah Mada

2 Program Studi Profesi Apoteker 2020, Universitas Gadjah Mada

3 Klinika 2019-2020, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada

  Gastroesophageal Reflux Disease atau yang juga disebut GERD, merupakan suatu kondisi naiknya asam lambung ke kerongkongan (esofagus). Umumnya, GERD ditandai dengan nyeri ulu hati yang disertai sensasi hangat di bagian bawahnya atau rasa terbakar yang naik dari perutdan dapat menjalar ke leher. Kondisi ini diperburuk oleh aktivitas yang menyebabkan refluks, seperti posisi berbaring, membungkuk, makan makanan berlemak tinggi. Gejala lainnya adalah hipersalivasi dan sendawa. Gejala alarm yang mungkin mengindikasikan komplikasi antara lain nyeri dan kesulitan menelan, perdarahan, dan penurunan berat badan.

 Faktor Risiko

  Wanita diketahui lebih berisiko mengalami GERD. Selain itu, faktor risiko lain terjadinya refluks gastroesofagus antara lain obesitas, usia lebih dari 40 tahun, kehamilan, merokok, diabetes, asma, dan riwayat keluarga dengan GERD. Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofagus, seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofagus, dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu kerja otot sfingter esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus.

Gaya hidup yang salah dapat menjadi pemicu GERD. Oleh karena itu, kita perlu tahu cara yang tepat untuk mencegah GERD agar tidak mengganggu kesehatan.

1. Turunkan Berat Badan Jika Overweight (Kelebihan Berat Badan)

Untuk mencegah GERD, yang pertama adalah kita harus memerhatikan berat badan terlebih dahulu. Berat badan berlebih dapat memicu GERD karena adanya peningkatan tekanan pada perut yang melemahkan otot katup esofagus bagian bawah. Banyak pengidap GERD yang keluhannya membaik setelah berhasil menurunkan berat badan

2. Hindari Beberapa Jenis Makanan

Beberapa makanan dan minuman sebaiknya dihindari untuk mencegah GERD. Beberapa contoh makanan tersebut yaitu cokelat, alkohol, jus jeruk, makanan yang mengandung tomat, makanan berlemak, merica, peppermint, kopi, dan bawang. Jenis makanan ini dapat mengiritasi mukosa lambung dan esofagus dan melemahkan otot katup esofagus bawah.

3. Hindari Makanan dalam Jumlah Besar

Makan dengan porsi kecil, tetapi sering lebih baik daripada dengan porsi besar sekaligus. Ini karena makan dengan porsi besar dapat berpotensi meningkatkan kerja lambung sehingga melemahkan otot katup esofagus bawah yang mengakibatkan GERD.

4. Hindari Berbaring Setelah Makan

Tunggu 3 jam setelah makan jika ingin tidur atau berbaring. Beri kesempatan asam lambung turun dan lambung mengosongkan diri dengan posisi duduk kurang lebih 3 jam setelah makan besar terakhir.

5. Hindari Merokok

Merokok dapat melemahkan otot katup esofagus bawah. Berhenti merokok adalah tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah GERD.

Terapi Non-Farmakologi

  Terapi non-farmakologi atau terapi tanpa menggunakan obat lebih utama untuk dilakukan karena GERD disebabkan oleh gaya gaya hidup yang salah. Oleh karena itu, memperbaiki gaya hidup bermanfaat besar dalam penatalaksanaan GERD. Terapi non-farmakologi dilakukan dengan modifikasi gaya hidup seperti yang telah diuraikan di atas. Hal penting lainnya adalah tidur dengan posisi kepala lebih tinggi 15-20 cm dari badan untuk mencegah asam lambung naik ketika tidur. Pasien GERD sebaiknya menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman, hindari memakai pakaian yang ketat di daerah pinggang dan perut. Jika pasien GERD sedang menjalani pengobatan wajib untuk penyakit lain yang mengiritasi mukosa esofagus, sebaiknya obat diminum dalam posisi tegak dengan banyak cairan atau makanan.

Terapi Farmakologi

  Mengingat kemungkinan komplikasi yang dapat ditimbulkan, sepatutnya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat apabila terapi non-farmakologi belum berhasil memperbaiki GERD pada pasien. Terapi farmakologis GERD dilakukan dengan 1) terapi yang diarahkan pada pasien (patient-directed therapy) dengan Antasida, Antagonis reseptor H2, atau PPI tanpa resep; 2) Terapi supresi asam atau 3) obat-obat pro motilitas. Obat yang digunakan dalam terapi GERD antara lain :

1. Antasida dan Antasida-Asam Alginat

Antasida adalah obat yang bisa diberikan pada pasien GERD dengan gejala ringan hingga sedang. Obat ini dapat diberikan dengan resep ataupun tanpa resep dokter. Antasida bekerja dengan menetralkan asam lambung, sehingga dapat berefek pada peningkatan tekanan lower esophageal sphincter (LES). Efek samping umum yang mungkin terjadi pada pasien pengguna antasida adalah konstipasi atau diare. Hal ini bergantung pada komposisi alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida dalam obat.

Produk antasida dapat pula dicampurkan dengan asam alginat. Asam alginat tidak menetralkan asam lambung, sehingga tidak memberikan efek pada LES. Akan tetapi, asam alginat dapat membentuk larutan kental yang berfungsi sebagai barrier esofagus dari cairan refluks lambung. Adanya asam alginate juga dapat mengurangi jumlah episode terjadinya refluks, sehingga kombinasi ini lebih baik dibandingkan antasida tunggal. Terdapat berbagai merk yang menjual produk kombinasi ini, salah satunya dijual dengan nama Gaviscon® (Dipiro et al., 2015).

2. Antagonis Reseptor H2 (H2RA)

Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini yaitu simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin. Obat ini beraksi menurunkan jumlah asam lambung dengan berikatan secara reversibel pada reseptor H2 di sel gastrik parietal. Adanya interaksi ini menghambat terbentuknya ikatan histamin dengan reseptor H2, sehingga gastrin tidak dihasilkan (Nugent et al., 2020). H2RA biasanya diberikan sebelum makan. Dibandingkan dengan antasida, H2RA memiliki onset yang lebih lambat, namun durasi aksinya lebih lama (DiPiro et al., 2015).

3. Proton Pump Inhibitor

PPI bekerja menghambat sekresi asam lambung dengan mengeblok H, K-ATPase (Shin dan Sachs, 2008). Golongan ini merupakan obat utama dalam pengobatan GERD. Obat PPI seperti esomeprazole, omeprazole, dan lansoprazole tersedia di apotek tanpa perlu resep dari dokter. Efek samping paling umum dari PPI adalah pusing, diare, konstipasi, dan nyeri abdomen. Untuk pengobatan sendiri, jika gejala tidak membaik setelah dua minggu penggunaan, maka pasien disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter. PPI umumnya digunakan satu kali sehari (DiPiro et al., 2015).

Terapi supresi asam dengan resep obat antagonis reseptor H2 dan inhibitor pompa proton adalah andalan dalam pengobatan GERD.

4. Agen Promotilitas: Metoklopramid dan Bethanechol

Golongan ini biasanya jarang digunakan dalam terapi GERD karena besarnya efek samping dan efektivitas yang tidak sebaik obat-obat penekan asam lambung, namun mungkin bermanfaat pada pasien dengan gangguan motilitas yang telah diketahui, seperti inkompetensi LES, penurunan klirens esofagus, dan pengosongan lambung lambat. Metoklopramid merupakan antagonis dopamin yang berefek meningkatkan tekanan LES dan pengosongan lambung. Akan tetapi, metoklopramid tidak terbukti membantu penyembuhan tukak pada lambung. Selain itu, efek samping metoklopramid cukup berbahaya, diantaranya efek ekstrapiramidal, tardive dyskinensia, dan efek pada system saraf pusat lainnya. Resiko efek samping tersebut lebih besar terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, karena metoklopramid yang dieliminasi oleh ginjal. Metoklopramid dikontraindikasikan pada pasien Parkinson.

Bethanechol juga merupakan agen promotilitas, dan penggunaannya tidak direkomendasikan karena berbagai efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping tersebut antara lain: retensi urin, nausea, flushing, kondisi abdomen tidak nyaman (DiPiro et al., 2015).

5. Protektan Mukosa

Sukralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap, mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis ringan tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H2 dosis tinggi pada pasien dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak direkomendasikan untuk terapi. (DiPiro et al., 2015).

GERD memiliki tiga kelompok gejala, yaitu gejala esofagus (heartburn, regurgitasi, gejala memburuk saat posisi tidur), gejala ekstraesofagus (sakit dada, batuk, dan sesak), dan warning symptoms (disfagia, perdarahan, dan penurunan berat badan). Jika pasien mengalami warning symptoms, maka segera dirujuk untuk memperoleh pertolongan dokter dan endoskopi. Jika pasien mengalami gejala ekstraesofagus saja, maka perlu dieksaminasi kembali untuk mengukuhkan diagnosis. Apabila pasien terbukti mengalami GERD, maka dapat diberikan treatment seperti pasien dengan gejala esofagus (ANMC, 2002).

Pengobatan untuk pasien dengan gejala esofagus (positif GERD) adalah dengan anatasida, H2RA, atau PPI (tanpa resep dokter). Jika kondisi tidak membaik setelah penggunaan selama 2 minggu, atau justru memburuk hingga muncul warning symptoms, pasien perlu memperoleh pertolongan dokter dengan endoskopi atau asesmen ulang. Jika selama dua minggu tersebut kondisi pasien membaik, maka pengobatan dilanjutkan hingga dua bulan. Setelah dua bulan pasien tidak mengalami gejala kembali, dapat dilakukan percobaan penghentian penggunaan obat selama 2 minggu. Apabila dalam dua minggu tersebut pasien tidak mengalami gejala kembali, maka pasien tidak perlu pengobatan lagi, namun tetap mempertahankan gaya hidup yang mencegah terjadinya GERD seperti tidak meminum kopi, tidak langsung tidur setelah makan, dan sebagainya (DiPiro et al., 2015).

GERD PADA WANITA HAMIL

  Refluks pada kehamilan lebih sering terjadi pada wanita yang hamil pada usia dini, mengalami refluks pada kehamilan sebelumnya, mengalami refluks sebelum kehamilan meskipun refluksnya terbatas, dan mengalami kehamilan ganda. Refluks pada kehamilan lebih jarang terjadi pada usia ibu lanjut. Frekuensinya bisa menurun dengan multiparitas, usia kehamilan dan adanya gejala refluks sebelum kehamilan dan usia lanjut. GERD mungkin berbeda pada setiap wanita hamil. Kenaikan berat badan adalah salah satu penyebab kecil. Perubahan hormonal pada kehamilan menyebabkan relaksasi otot LES. Perubahan hormonal menyebabkan perlambatan motilitas esofagus dan penundaan turunnya makanan ke perut. Pembesaran rahim selama trimester kedua dan ketiga juga menyebabkan peningkatan tekanan pada perut secara bertahap dengan meningkatkan tekanan intra-abdominal. Beberapa penulis menggambarkan peran ini sebagai kontribusi kecil. Refluks dalam kehamilan sering terjadi, tetapi komplikasi ekstra esofagus jarang terjadi. Setelah melahirkan gejala refluks akan berkurang.

Untuk mengatasi naiknya asam lambung saat hamil, antara lain:

1. Perubahan pola makan dan gaya hidup

Makan dalam interval 3 jam dan sebagai makanan kecil itu penting. Makan juga harus lambat dan makanan harus dikunyah secara menyeluruh. Air tidak boleh diminum saat makan dan harus disediakan di antara waktu makan, dan semua makan harus dihentikan 3 jam sebelum waktu tidur. Cokelat, makanan berlemak / berminyak, minuman dan makanan asam, kafein, buah jeruk dan tomat, saus tomat, dan minuman bersoda harus dihindari. Duduk tegak dan berjalan perlahan selama satu jam setelah makan memberikan kelegaan. Individu harus mengenakan pakaian yang nyaman, menjaga berat badan yang sehat, mengkonsumsi yoghurt atau segelas susu hangat atau mengunyah permen karet bebas gula (meningkatkan air liur, sehingga menetralkan asam yang masuk ke kerongkongan) untuk menekan gejala.

Makanan dan minuman yang kemungkinan tidak akan meningkatkan refluks dan direkomendasikan antara lain apel, pisang, kentang panggang, brokolis, kubis, wortel, buncis, kacang polong, steak, dada ayam, putih telur, daging ikan, keju, keju kambing, dedak, oat, roti jagung, nasi, air mineral, dan salad bebas minyak. Individu juga dapat meminum teh chamomile atau segelas susu hangat dengan tambahan madu. Individu harus berkonsultasi dengan dokter untuk pengobatan alternatif (misalnya yoga). Selain itu, mengangkat kepala tempat tidur atau tidur miring ke kiri memberikan kelegaan yang signifikan.

2. Perawatan medis

Antasida atau sukralfat harus digunakan terlebih dahulu. Perawatan simptomatik tanpa efek sistemik atau absorpsi lebih disukai. Antasida, yang merupakan obat non-sistemik, harus dimulai pada wanita hamil yang tidak merespons perubahan gaya hidup, dan harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam pengobatan. Mereka menawarkan bantuan yang dibutuhkan pada banyak wanita dengan gejala ringan. Lebih disukai, kombinasi antasida + asam alginat lebih bermanfaat. Produk obat yang mengandung antasida plus asam alginat bekerja dengan membentuk lapisan di atas kandungan lambung, menetralkan asam yang ada dan mencegah efek bahan refluks pada mukosa esofagus. Dianjurkan untuk mengambil 15-30 ml produk ini 15 menit setelah makan dan sebelum tidur. Bentuk suspensi sangat manjur. Terjangkau dan mudah didapat adalah keuntungan dari obat-obatan ini.

Mg ++ trisilikat jangka panjang dan dosis tinggi harus dihindari, terutama pada trimester ketiga, karena dapat menyebabkan kontraksi. Na + bikarbonat harus dihindari karena dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Makanan yang mengandung aluminium dapat menyebabkan sembelit.

3. Sukralfat

Sebagai garam aluminium yang bekerja dengan menghambat aktivitas pepsin, sukralfat tampaknya aman karena tidak diserap dari saluran gastrointestinal. Sukralfat diminum sebanyak 1 g tiga kali sehari tetapi jika terbukti tidak memadai, sukralfat dapat dikombinasikan dengan perubahan gaya hidup bersama dengan pengobatan antasida + asam alginat. Tidak ada efek samping ibu atau janin yang terkait dengan sukralfat telah dilaporkan.

Antagonis reseptor H2: Dari antagonis reseptor H2, ranitidine adalah kategori B FDA, sementara informasi tentang yang lain terbatas, dan mungkin aman. Agen prokinetic Data tentang khasiat dan keamanannya selama kehamilan tidak cukup.

4. PPI

Pilihan perawatan medis yang paling efisien dalam meredakan gejala refluks dan mengobati esofagitis pada populasi umum saat ini adalah penghambat pompa proton dan biasanya digunakan. Namun, ada beberapa efek samping yang terkait dengan penggunaan jangka panjangnya. Omeprazole adalah obat kategori B FDA, sementara informasi tentang obat lain terbatas, dan mungkin aman.

Metode herbal: Jahe, kamomil, timus, valerian, fenugreek, teh hijau, olibanum (minyak yang berasal dari pohon sweetgum asli daerah tropis) dan saus quince dapat digunakan. Satu studi menyelidiki saus quince dan ranitidine, dan memperoleh hasil yang sebanding. Kesimpulannya, gastroesophageal reflux pada kehamilan sering terjadi tetapi dapat ditangani dengan baik dengan diet yang tepat dan perawatan medis.

GERD pada Bayi

  Bayi sering muntah merupakan salah satu hal yang biasa, terutama setelah menyusu. Sebagian besar tidak memerlukan tindakan apapun. Namun, apabila bayi muntah diiringi dengan  rewel, sesak napas, dan sering muntah sehingga pertumbuhannya terganggu atau membuat berat badannya tidak bertambah, maka ada kemungkinan bayi tersebut mengalami gangguan asam lambung. Selain bayi sering gumoh atau muntah, beberapa gejala lain yang mengiringi GERD pada bayi antara lain sakit perut, rasa sakit atau perih di tenggorokan dan dada sehingga sering menolak menyusu atau makan, menangis saat atau setelah menyusu atau diberi makan, banyak mengeluarkan air liur, sering batuk ataupun batuk yang berlangsung cukup lama, hingga mengalami gangguan pernapasan.

Regurgitasi dan muntah adalah gejala refluks bayi yang paling umum. Anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dengan memperhatikan sinyal peringatan yang menunjukkan penyebab lain umumnya cukup untuk menegakkan diagnosis klinis GER bayi tanpa komplikasi. Tersedak, tersedak, batuk saat disusui atau iritabilitas yang signifikan dapat menjadi tanda peringatan untuk GERD atau diagnosis lainnya. Jika terjadi muntah yang kuat, pemeriksaan laboratorium dan radiografi (rangkaian saluran cerna bagian atas) diperlukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari muntah. Iritabilitas ditambah dengan melengkungkan punggung pada bayi dianggap setara dengan mulas non-verbal pada anak yang lebih tua. Penyebab iritabilitas lainnya, termasuk alergi protein susu sapi, gangguan neurologis, sembelit dan infeksi, harus disingkirkan. Presentasi alergi protein susu sapi tumpang tindih dengan GERD, dan kedua kondisi tersebut mungkin terjadi bersamaan pada 42–58% bayi. Pada bayi ini, gejala berkurang secara signifikan dalam 2-4 minggu setelah penghapusan protein susu sapi dari makanan. Untuk refluks non-komplikasi, tidak ada intervensi yang diperlukan untuk kebanyakan bayi.

Edukasi yang efektif kepada orang tua tentang regurgitasi dan perubahan gaya hidup biasanya cukup untuk menangani refluks bayi. Sindrom Sandifer, apnea, dan kejadian yang mengancam nyawa adalah manifestasi ekstraesofagus dari GERD pada bayi.

Agen farmakoterapi yang digunakan untuk mengobati GERD meliputi agen antisecretory, antasida, agen penghalang permukaan dan prokinetik. Berdasarkan guideline NASPGHAN dan ESPGHAN menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membenarkan penggunaan rutin agen prokinetik. Esomeprazole (Nexium) sekarang disetujui di AS untuk pengobatan jangka pendek GERD dengan esofagitis erosif pada bayi berusia 1 sampai 12 bulan.

Untuk mencegah naiknya asam lambung pada bayi, hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :

Memberi bantal ekstra di bagian kepala dan menyesuaikan jadwal makan bayi.
Menggendong bayi pada posisi tegak sekitar 30 menit setelah menyusu atau makan. Pastikan tidak ada tekanan berlebihan di sekitar perut bayi selama itu.

GERD pada Lansia

  Lansia dengan beberapa kondisi kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit asam lambung karena sebagian besar dari mereka mungkin mengonsumsi obat-obat pemicu GERD yang telah disebutkan sebelumnya untuk mengatasi gejala penyakit kronis yang dialami. Pada akhirnya, obat-obat tersebut malah menyebabkan otot-otot katup esofagus menjadi kendur. Cara mengatasi GERD pada lansia secara umum sama seperti yang sudah diuraikan di awal.

Referensi

Anonim, 2015, Diagnosis of GER & GERD in Infants, Diseases NIDDK.

Anonim, 2019, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), Mayo Clinic.

DeVault, K. R., 2007, Management of Reflux Disease in Elderly Patients, Gastroenterology & Hepatology, 3(7), 527–529.

DiPiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., dan DiPiro, C.V., 2015, Pharmacotherapy Handbook, McGraw Hill, New York.

Todd, N., 2018, Heartburn During Pregnancy, WebMD.


Klinika Farmasi UGM

Klinika merupakan sebuah kelompok studi di Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.