A. PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TEKANAN DARAH
Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darah orang tersebut ≥140 mmHg pada tekanan darah sistolik atau 90 mmHg (≥140/90 mmHg) (Ardiansyah M., 2012). Gejala-gejala tersebut adalah sakit kepala atau rasa berat ditengkuk. Vertigo, jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging atau tinnitus dan mimisan (American Heart Association, 2018).
Hipertensi dapat menyerang pada siapa saja terutama pada lansia. Hipertensi pada lansia erat kaitannya dengan proses penuaan yang terjadi pada tubuh. Semakon bertambahnya usia seseorang, tekanan darahnya semakin meningkat. Meskipun sebenarnya proses penuaan adalah hal alami, namun lansia dengan hipertensi tetap beresiko mengalami komplikasi penyakit yang lebih serius. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas (Nurarif A.H., &Kusuma H., 2015) :
1. Hipertensi dimana tekanan sistolik ≥140/90 mmHg
2. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan diastolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Menurut World Health Organization (Noorhidayah, S.A.2016) klasifikasi hipertensi meliputi :
1. Tekanan darah normal yaitu bila sistolik ≤ 140 mmHg/90.
2. Tekanan darah perbatasan (border line) yaitu bila sistolik 141-149 mmHg dan diastolik 91-94 mmHg.
3. Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik ≥140/90 mmHg.
B. FAKTOR RESIKO
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah.
Faktor risiko yang melekat pada penderita hipertensi dan tidak dapat diubah, antara lain :
a. Umur
Semakin bertambahnya usia seseorang, tekanan darahnya semakin meningkat. Hal itu disebabkan karena pembuluh darah yang semakin kaku dan tidak elastis sehingga tekanan darahpun meningkat.
b. Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah yang tidak dapat diubah. Pria mempunyai risiko 2,3x lebih banyak mengalami peningkatan darah sistolik disbanding wanita. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat.
c. Genetik
Adanya riwayat keluarga yang mengalami hipertensi dapat berpengaruh pada keturunan. Menurut Europan Heart Journal, masalah darah tinggi di keluarga diwariskan kepada generasi selanjutnya dengan kemungkinan mencapai 30-50%.
2. Faktor risiko yang dapat diubah
Faktor risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi antara lain :
a. Merokok
Merokok dapat menyebabkan hipertensi akibat zat-zat kimia yang terkandung dalam tembakau terutama nikotin yang dapat merangsang saraf simpatis sehingga memicu kerja jantung lebih cepat sehingga peredaran darah mengalir lebih cepat dan terjadi penyempitan pembuluh darah.
b. Diet rendah serat
Konsumsi rendah serat memiliki risiko menderita hipertensi 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi serat cukup. Pada penderita hipertensi, diet tinggi serat sangat penting. Intake serat yang rendah dapat menurunkan ekskresi lemak dan asam empedu melalui feces dan direabsorpsi kembali ke dalam aliran darah. Akibatnya kolesterol yang beredar dalam darah semakin banyak dan menumpuk di pembuluh darah dan menghambat aliran darah. Hal ini berdampak pada peningkatan tekanan darah.
c. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor risiko terbentuknya arteriosklerosis. Aterosklerosis akan mengakibatkan penyumbatan dan penimbunan lemak atau bekuan darah. Hal tersebut mengakibatkan tingginya resistensi vaskular sistemik dan memicu peningkatan tekanan darah.
d. Konsumsi garam berlebih
Diet garam yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. Hal ini disebabkan karena garam menahan air akan meningkatkan volume darah yang mengakibatkan bertambahnya tekanan darah dalam arteri.
e. Kurang aktivitas fisik
Secara teori aktivitas fisik sangat memengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang tidak aktif melakukan kegiatan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras otot jantung dalam memompa darah, makin besar pula tekanan darah yang membebankan pada dinding arteti sehingga tahanan perifer yang menyebabkan kenanikan tekanan darah. Kurang nya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan menyebkan risiko hipertensi meningkat (Triyanto, 2014).
f. Stres
Stres bisa memengaruhi kondisi fisik secara keseluruhan, serta menyebabkan naiknya tekanan darah secara mendadak. Saat stres terjadi, tubuh melepaskan hormon stres, yaitu adrenalin, kortisol, dan norepinefrin, yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraksi otot jantung yang lebih kuat. Selain itu, pembuluh darah yang mengalirkan darah ke jantung pun melebar sehingga meningkatkan jumlah darah yang dipompa. Adapun peningkatan jumlah darah dapat pula meningkatkan tekanan darah pada seseorang.
g. Berat badan berlebih/ kegemukan
Seiring dengan peningkatan berat badan, jumlah darah yang bersirkulasi di dalam tubuh juga meningkat. Hal ini dapat menambah tekanan pada dinding arteri, yang meningkatkan tekanan darah.
h. Konsumsi alkohol
Alkohol merupakan salah satu penyebab hipertensi karena alkohol memiliki efek yang sama dengan karbondioksida yang dapat meningkatkan keasaman darah, sehingga darah menjadi kental dan jantung dipaksa untuk memompa. Selain itu konsumsi alkohol yang berlebihan dalam jangka panjang akan berpengaruh pada peningkatan kadar kortisol dalam darah sehingga aktivitas rennin-angiotensin aldosteron system (RAAS) meningkat dan mengakibatkan tekanan darah meningkat.
C. PENYEBAB HIPERTENSI
Pada umumnya penyebab hipertensi seringkali tidak diketahui. Peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan perifer merupakan dua hal yang menyebabkan hipertensi dapat terjadi (Nuraini, 2015). Namun, hipertensi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan penyebabnya, yaitu hipertensi primer (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Hipertensi primer adalah jenis hipertensi yang tidak diketahui penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut. Faktor genetik dan lingkungan yang diperparah dengan faktor obesitas, stress, dan konsumsi alkohol berlebihan memengaruhi terjadinya hipertensi primer yang merupakan penyakit multifaktorial. Sedangkan hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang dipengaruhi oleh penyakit yang lain seperti gagal ginjal kronik, hiperaldosteonisme, renovaskular, dan penyebab lain yang diketahui (Anggriani, 2016).
D. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Terapi non farmakologi untuk penanganan hipertensi dapat berupa anjuran untuk melakukan modifikasi gaya hidup. Pola hidup sehat dapat menurunkan tekanan darah. Pemberian terapi farmakologi dapat ditunda pada pasien dengan hipertensi derajat 1 dengan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular rendah. Apabila dalam 4-6 bulan tekanan darah masih belum mencapai target atau pasien memiliki faktor risiko penyakit kardiovaskular lain maka pemberian terapi farmakologi sebaiknya dimulai (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Rekomendasi terkait gaya hidup adalah sebagai berikut :
1. Penurunan berat badan.
Targetkan penurunan berat badan perlahan hingga mencapai berat badan ideal dengan cara terapi nutrisi medis dan peningkatan aktivitas fisik dengan latihan jasmani.
2. Mengurangi asupan garam.
Garam sering digunakan sebagai bumbu masak serta terkandung dalam makanan kaleng maupun makanan cepat saji. Diet tinggi garam akan meningkatkan retensi cairan tubuh. Asupan garam sebaiknya tidak melebihi 2 gram per hari atau setara dengan 1 sendok the.
3. Diet.
Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) merupakan salah satu diet yang direkomendasikan. Diet ini pada intinya mengandung makanan kaya sayur dan buah, serta produk rendah lemak.
4. Olahraga.
Rekomendasi terkait olahraga yakni olahraga secara teratur sebanyak 30 menit/hari, dengan minimal 3 hari/ minggu.
5. Mengurangi konsumsi alkohol.
Pembatasan konsumsi alcohol yang tidak lebih dari dua gelas per hari pada pria atau satu gelas per hari pada wanita dapat menurunkan hipertensi.
6. Berhenti merokok.
Merokok termasuk faktor risiko penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok demi menurunkan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Whelton PK, 2017).
E. TERAPI FARMAKOLOGI
1. Diuretik
Diuretika merupakan obat-obat yang menyebabkan suatu keadaan peningkatan aliran urin. Diuretika merupakan zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih melalui kerja langsung terhadap ginjal. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, Pertama adalah menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua adalah menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dan air (Setiabudi, 2007; Tjay dan Rahardja, 2007). Fungsi utama diuretika adalah untuk memobilisasi cairan edema, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Nafrialdi, 2009)
Diuretik diklasifikasikan berdasarkan tempat kerjanya (diuretik loop), khasiat (high-ceiling diuretic), struktur kimia (diuretik tiazid), kesamaan kerja dengan diuretik lain (diuretik mirip tiazid), efek terhadap ekskresi kalium (diuretik hemat kalium), dll (Jackson, 2008). Efek samping dari obat-obat diuretik sangat banyak, terutama pada jangka panjang. Furosemid mempunyai efek samping gangguan cairan dan elektrolit, hipersensitivitas, efek metabolik, dan ototoksisitas. Acetazolamide mempunyai efek samping parastesi dan kantuk terus menerus, hipersensitivitas, dan disorientasi mental pada pasien sirosis hepatis. Tiazid memiliki efek samping berupa gangguan elektrolit, hiperkalsemia, hiperurisemia yang biasanya terjadi pada pasien gout artritis. Spironolakton mempunyai efek samping hiperkalemia, ginekomastia, bahkan gangguan saluran cerna (Nafrialdi, 2009).
2. Beta Bloker
Contoh obat-obat golongan beta-blocker yaitu atenolol dan metoprolol. Obat tersebut bekerja dengan cara mengurangi sekresi isi sekuncup jantung. Selain itu, obat tersebut juga dapat menurunkan aliran simpatik dari sistem saraf pusat dan menghambat pelepasan renin dari ginjal sehingga dapat mengurangi sekresi aldosteron dan menurunkan tekanan darah. Efek samping yang dapat ditimbulkan ketika mengkonsumsi obat-obat golongan beta blocker yaitu kelelahan, insomnia, halusinasi, menurunkan libido, dan dapat menyebabkan impotensi (Yulanda dan Lisiswati, 2017). Obat golongan beta-blocker juga direkomendasikan untuk mengontrol tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (Sari, dkk., 2020).
3. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Obat golongan ACEI yang paling umum digunakan adalah kaptopril. Mekanisme kerja obat golongan ACEI yaitu dengan menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Umumnya, obat-obat golongan ini bekerja efektif dan dapat ditolerir dengan baik (Pionas, 2014). Batuk kering merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemakaian Angiotensin Converting Enzyme inhibitor(ACEi) dengan rentang 5%-30%. Penggunaan kaptopril dosis tinggi dapat mengakibatkan hilangnya rasa, neutropenia, proteinuria, lesi oral, serta scalded mouth syndrome. Kaptopril merupakan agen ACEi pertama tersedia dalam bentuk generik dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan lainnya (Halim dkk, 2015).
4. Angiotensin II Receptor Blockers (ARB)
Beberapa contoh obat ARB adalah losartan, valsartan, dan irbesartan. Obat golongan tersebut memiliki sifat yang mirip dengan ACEi, tetapi tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya sehingga tidak menimbulkan batuk kering seperti obat golongan ACEI. Dengan demikian, golongan obat ini merupakan alternatif untuk pasien yang harus menghentikan ACEI akibat batuk persisten. ARB II juga menjadi alternatif ACEI dalam tatalaksana gagal jantung atau nefropati akibat diabetes (Pionas, 2014). Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hipokalemia, dan hipotensi ortostatik. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya tetapi tidak boleh digunakan pada perempuan hamil (Muchid dkk, 2007).
5. Calcium-channel Blockers (CCB)
Kalsium merupakan mineral yang memiliki peran untuk meningkatkan kekuatan otot jantung dan pembuluh darah. Calcium-channel Blockers bekerja dengan cara menghambat jalan masuk kalsium ke dalam otot jantung dan dinding pembuluh darah, sehingga membuat sel-sel jantung dan pembuluh darah otot mengendur dan rileks. Efek tersebut membuat tekanan darah menurun.
Obat tersebut umumnya diberikan bersamaan dengan beta blockers. Contoh obat CCB adalah amlodipine, nicardipine, diltiazem, verapamil, dan nifedipine. Sama seperti jenis obat tekanan darah tinggi lainnya, CCB juga menimbulkan efek samping. Beberapa efek samping yang dapat muncul akibat penggunaan CCB adalah sakit kepala, kaki membengkak (edema), dada berdebar, dan sembelit (Alexander, M.R., 2019).
Berikut adalah rangkuman obat-obat antihipertensi:
Golongan obat |
Obat | Mekanisme aksi | Indikasi | Dosis | Efek samping |
Kontraindikasi |
Diuretik thiazid | Indapamid | Meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air dengan mengganggu pengangkutan ion natrium melintasi epitel tubulus ginjal. | Hipertensi esensial | 2,5 mg sehari pada pagi hari | Hipokalemia, sakit kepala, pusing, konstipasi, dispepsia, ruam kulit | Stroke yang baru saja terjadi, gangguan hati yang berat. |
Diuretik tiazid | Hidroklorotiazid | Menghambat reabsorpsi natrium di tubulus distal menyebabkan peningkatan ekskresi natrium dan air serta ion kalium dan hidrogen | Hipertensi | Dosis awal 12,5 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 25 mg sehari Usia Lanjut. dosis awal 12,5 mg sehari mungkin cukup. | anoreksia, penurunan nafsu makan, iritasi lambung, diare, konstipasi | gangguan hati berat, gangguan ginjal berat (kreatinin klirens < 30 mL/menit), hipokalemia refraktori, hiperkalsemia, hamil dan menyusui |
Diuretik loop | Furosemid | Menghambat reabsorpsi natrium dan klorida di lengkung Henle dan tubulus ginjal distal, mengganggu sistem kotranspor pengikat klorida, sehingga menyebabkan peningkatan ekskresi air, natrium, klorida, magnesium, dan kalsium | Hipertensi | Dewasa: Tablet 40–80 mg per hari. Bisa dikombinasikan dengan obat antihipertensi. Lansia: Dosis furosemide tablet untuk lansia selalu diawali dengan dosis terendah, lalu ditingkatkan secara bertahap sesuai kondisi pasien. |
gangguan elektrolit, dehidrasi, hipovolemia, hipotensi, peningkatan kreatinin darah | gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan koma hepatik, defisiensi elektrolit, hipovolemia, hipersensitivitas. |
Diuretik hemat kalium | Spironolakton | Meningkatkan ekskresi natrium klorida dan air sambil mempertahankan ion kalium dan hidrogen; dapat memblokir efek aldosteron pada otot polos arteriol | Hipertensi | 100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400 mg; Anak. dosis awal 3 mg/kg bb dalam dosis terbagi. | Gangguan saluran cerna; impotensi, ginekomastia, menstruasi tidak teratur, letargi, sakit kepala, bingung; ruam kulit; hiperkalemia; hiponatremia; hepatotoksisitas, osteomalasia | Hipersensitivitas terhadap spironolakton atau komponen formulasi apa pun; anuria; insufisiensi ginjal akut; gangguan fungsi ekskresi ginjal yang signifikan; hiperkalemia; kehamilan |
Beta bloker selektif | Atenolol | Memblokir respons terhadap stimulasi beta-adrenergik, secara selektif memblokir reseptor beta1 dengan sedikit atau tanpa efek pada reseptor beta2 kecuali pada dosis tinggi | Hipertensi | Oral: 25-50 mg sekali sehari, dapat ditingkatkan menjadi 100 mg/hari. Dosis >100 mg tidak mungkin menghasilkan manfaat lebih lanjut.
IV: Dosis 1,25-5 mg setiap 6-12 jam telah digunakan dalam manajemen jangka pendek pasien yang tidak dapat menggunakan beta-blocker enteral oral |
Pusing, lelah, kantuk, mual dan diare | Hipersensitivitas terhadap atenolol atau komponen formulasi apa pun; bradikardia sinus; disfungsi simpul sinus; blok jantung lebih besar dari tingkat pertama (kecuali pada pasien dengan alat pacu jantung buatan yang berfungsi); serangan jantung; gagal jantung yang tidak terkompensasi; edema paru; kehamilan |
Beta bloker selektif | Metoprolol | Memblokir reseptor beta1, dengan sedikit atau tanpa efek pada reseptor beta2 pada dosis <100 mg; tidak menunjukkan stabilisasi membran atau aktivitas simpatomimetik intrinsik | Hipertensi | Dosis awal 50 mg sehari, penunjang 50-100 mg sehari dalam 1-2 dosis terbagi | Sakit kepala, pusing, sesak napas, bradikardi, kelelahan, diare, ruam kulit | Hipersensitif terhadap metoprolol |
Beta bloker non selektif | Propanolol | Penghambat beta-adrenergik nonselektif (antiaritmia kelas II); secara kompetitif memblokir respon terhadap stimulasi beta1- dan beta2-adrenergik yang mengakibatkan penurunan denyut jantung, kontraktilitas miokard, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen miokard. | Hipertensi | Dosis awal 80 mg 2 kali sehari, tingkatkan dengan interval mingguan bila perlu; dosis penunjang 160-320 mg sehari. Hipertensi portal, dosis awal 40 mg 2 kali sehari, tingkatkan sampai 80 mg 2 kali sehari sesuai dengan frekuensi jantung; maksimal 160 mg 2 kali sehari. | bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi, bronkospasme, vasokonstriksi perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversibel bila obat dihentikan), eksaserbasi psoriasis. | Asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik; feokromositoma. |
ACEI | Kaptopril | Penghambat kompetitif enzim pengubah angiotensin (ACE); mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat; menghasilkan penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan peningkatan aktivitas renin plasma dan penurunan sekresi aldosteron. | hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan terapi tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan lain | Oral: Awal: 12,5-25 mg 2-3 kali/hari; dapat meningkat 12,5-25 mg/dosis pada interval 1 hingga 2 minggu hingga 50 mg 3 kali/hari. Maksimum: 150 mg 3 kali/hari. Tambahkan diuretik sebelum dosis lebih lanjut meningkat.
Kisaran dosis biasa (JNC 7): 25-100 mg/hari dalam 2 dosis terbagi |
hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan suara, perubahan pencecap | hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angiodema); penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan); stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung; kehamilan |
ACEI | Lisinopril | Mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat; menghasilkan penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan peningkatan aktivitas renin plasma dan penurunan sekresi aldosteron | Semua tingkat hipertensi | dosis awal 10 mg sehari; dosis penunjang lazim 20 mg sehari; maksimal 80 mg sehari. | hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan suara, perubahan pencecap | hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angiodema); penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan); stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung; kehamilan |
ACEI | Enalapril | Mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat; menghasilkan penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan peningkatan aktivitas renin plasma dan penurunan sekresi aldosteron. | Hipertensi | Dosis awal 5 mg sekali sehari; jika ditambahkan pada diuretika, pada usia lanjut, atau pada gangguan ginjal, awalnya 2,5 mg sehari; dosis penunjang lazim 10-20 mg sekali sehari; pada hipertensi berat dapat ditingkatkan sampai maksimal 40 mg sekali sehari. | hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang muntah), diare, (terkadang konstipasi), kram otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan suara, perubahan pencecap | hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angiodema); penyakit renovaskuler (pasti atau dugaan); stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung; kehamilan |
ARB | Losartan | Secara selektif dan kompetitif bekerja menghambat ikatan angiotensin II, terutama terhadap subtipe reseptor AT1, sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah. | Hipertensi | Dosis umum: 50 mg sekali sehari, dapat ditingkatkan hingga 100 mg sekali sehari. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat, dialisis, deplesi cairan, dimulai dengan 25 mg sekali sehari. | Umum: pusing. Jarang: ruam, hepatitis, vaskulitis, trombositopenia, reaksi anafilaksis, angiodema, pembengkakan pada wajah, bibir, faring, dan/atau lidah | Hipersensitivitas, penggunaan bersama aliskiren pada diabetes. |
ARB | Kandesartan | menghambat reseptor angiotensin II. Saat angiotensin II dihambat, pembuluh darah akan lemas dan melebar sehingga aliran darah menjadi lebih lancar dan tekanan darah turun | Hipertensi | dosis awal 8 mg (gangguan fungsi hati 2 mg, gangguan fungsi ginjal atau volume deplesi intravaskular 4 mg) sekali sehari, tingkatkan jika perlu pada interval 4 minggu hingga maksimal 32 mg sekali sehari; dosis penunjang lazim 8 mg sekali sehari. | vertigo, sakit kepala; sangat jarang mual, hepatitis, kerusakan darah, hiponatremia, nyeri punggung, sakit sendi, nyeri otot, ruam, urtikaria, rasa gatal. | Hipersensitivitas terhadap candesartan atau komponen formulasi apa pun; gangguan hati berat dan/atau kolestasis; kehamilan; menyusui |
ARB | Valsartan | Valsartan bekerja dengan cara menghambat reseptor angiotensin II. Dengan begitu, pembuluh darah dapat melebar dan darah bisa mengalir dengan lebih lancar. Cara kerja ini akan membuat tekanan darah turun dan kerja jantung dalam memompa darah dapat lebih baik. | Hipertensi | Lazimnya 80 mg sekali sehari; jika diperlukan (pada pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol) ditingkatkan hingga 160 mg sehari atau ditambahkan pemberian diuretika; tidak diperlukan penyesuaian dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien dengan gangguan fungsi hati tanpa kolestasis. | kelelahan, jarang diare, sakit kepala, mimisan; trombositopenia, nyeri sendi, nyeri otot, gangguan rasa, neutropenia. | gangguan fungsi hati berat, sirosis, obstruksi empedu, menyusui, hipersensitif terhadap komponen obat. |
CCB | Amlodipin | Bekerja dengan menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot pembuluh darah dan jantung, sehingga vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. | hipertensi atau angina, dosis awal 5 mg sekali sehari; maksimal 10 mg sekali sehari. | nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema, gangguan tidur, sakit kepala, pusing, letih | syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan, menyusui | |
CCB | Verapamil | Verapamil bekerja dengan cara menghambat kalsium masuk ke sel-sel otot di pembuluh darah, sehingga otot pembuluh darah menjadi lebih rileks. Otot yang rileks akan membuat aliran darah lebih lancar, sehingga menurunkan tekanan darah dan meredakan keluhan angina. | Hipertensi | 240-480 mg sehari dalam 2-3 dosis terbagi. Injeksi intravena lambat selama 2 menit (3 menit pada usia lanjut), 5-10 mg (sebaiknya dengan pemantauan ECG); pada takiaritmia paroksimal jika perlu 5 mg lagi setelah 5-10 menit. | efek samping yang umum terjadi adalah: konstipasi, pusing, mual, hipotensi, sakit kepala, edema, edema paru, fatigue, dispnea, bradikardia, AV blok, rash. | Penderita hipersensitivitas, syok kardiogenik, infark miokard akut dengan komplikasi |
Daftar Pustaka
Alexander, M.R., 2019, Medicare : Drugs &Diseases. Hypertension Medication.
American Heart Association (AHA), 2018, Guidelines for the Early. Management of Patients With Acute Ischemic Stroke.
Anggriani, L.M., 2016, Deskripsi Kejadian Hipertensi Warga Rt 05 Rw 02 Tanah Kali Kedinding Surabaya. Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education,4(2), pp.151-164.
Ardiansyah, Muhammad, 2012, Medikal Bedah Untuk Mahasiswa, Diva Perss, Yogyakarta.
Nuraini, B., 2015, Risk factors of hypertension, Jurnal Majority,4(5).
Nurarif AH, Kusuma H., 2015, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic – Noc Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta.
Sari, M.S., Cahaya, N., dan Susilo, Y.H., 2020, Studi Penggunaan Obat Golongan Beta-Blocker pada Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Ansari Saleh Banjarmasin. Jurnal Farmasi Udayana. 9(2), pp. 123-133.
Glenys Yulanda, R.L., 2017, Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Jurnal Majority, 6(1). pp. 25-33.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015, Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular.
Pionas, 2014, Penghambat ACE, http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-sistem-kardiovaskuler-0/23-antihipertensi/235-penghambat-ace. Diakses pada 18 Agustus 2021.
Pionas, 2014, Antagonis Reseptor Angiotensin II, http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-2-sistem-kardiovaskuler-0/23-antihipertensi/236-antagonis-reseptor-angiotensin-ii. Diakses pada 19 Agustus 2021.
Halim, M.C., Andrajati, R., Supardi, S., 2015, Risiko Penggunaan ACEi Terhadap Kejadian Batuk Kering pada Pasien Hipertensi di RSUD Cengkareng dan RSUD Tarakan DKI Jakarta, Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol.5, 113-122.
Muchid, A., et al., 2007, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Trinyanto, E, 2014, Pelayanan Keperwatan Bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu, Graha Ilmu,Yogyakarta.
Whelton PK., 2017, Guideline for the prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults. Hypertension.
0 Komentar